Membangun Kecerdasan Finansial

Membangun Kecerdasan Finansial

“ Sesungguhnya harta itu hijau dan lezat. Maka barang siapa mengambilnya dengan jiwa yang mulia, dia akan mendapatkan keberkahan padanya. Dan barang siapa mengambilnya dengan jiwa yang tamak, dia tidak akan diberkahi padanya dan bagaikan orang yang makan tetapi tidak pernah merasa kenyang” (H.R. Bukhari)

Kecerdasan financial versi saya adalah kemampuan untuk menjual diri kita sehingga investor menjadi tertarik untuk bekerjasama dalam bisnis. Dengan kata lain, adalah kecerdasan untuk mendapatkan investasi dalam usaha. Kecerdasan financial difahami bahwa modal terbesar adalah dirinya. Setelah dirinya mampu mengidentifikasi dirinya. Dia juga mengetahui potensi yang ada dirinya, keluargannya, lingkungan dan orang lain. Seorang pengusaha harus mampu mendayagunakan resources yang dimiliki untuk memulai usaha.

Berbicara tentang investasi tentunya haruslah melihat diri kita. Dikatakan entrepreneurship manakala  adanya lompatan terhadap investasi dan modal yang kita kelola. Misalnya kalau saat ini kita baru memutar bisnis dengan nominal modal 10 juta, maka diri kita pacu agar bagaimana mampu berbisnis dengan nominal 100 juta. Begitupula jika kemampuan bisnis kita baru level 1, dengan kerja keras, total dan focus dalam bisnis, diri kita kita naikan levelnya menjadi level 10.

Kalau dengan kemampuan bisnis saat ini kemampuan diri kita hanya pada kisaran 10 juta dan kita merasa cukup dengan tidak melakukan peningkatan, berarti ada yang salah pada diri kita. Lagi lagi mindsetnya perlu di tata sehingga benar-benar total bermindset entrepreneur.

Cerdas financial adalah kemampuan untuk mendayagunakan diri kita untuk mendapatkan investor. Dan mengoptimalkan investasi tersebut untuk usaha yang produktif.  Sekali lagi untuk hal yang produktif. Karena seringkali tuntutan gaya hidup dan pertumbuhan kelas social melahirkan pola hidup yang cenderung konsumtif. Sebagai ilustrasi. Seseorang yang memulai usaha seringkali modal kerja dijadikan untuk membiayai gaya hidupnya. Beli mobil misalnya, bukan untuk dijadikan sebagai hal yang produktif dalam mendukung bisnis, namun tidak lebih sebagai bentuk status social agar dia dianggap sebagai pengusaha yang sukses, padahal usahannya masih belum pada level stabil. Sehingga ditahun kedua, dia kesulitan keuangan untuk membiayai gaya hidupnya. Dalam hal ini cerdas financial bisa dimaknai juga kegiatan untuk mengelola keuangan secara produktif.

Kita ibaratkan modal kerja dari investor adalah sebagai leverage (pengungkit) dalam bisnis. Misalnya anda mempunyai ide bisnis untuk membuka catering. Setelah anda peras otak dan pikiran anda, ternyata usaha ini membutuhkan modal sebesar 20 juta. Sementara anda hanya punya uang 5 juta, itupun dari tabungan anak, dan menjual perhiasan istri. Maka anda dihadapkan kepada dua pilihan. Pertama apakah akan mundur dan menguburkan impian anda untuk menjadi pengusaha catering. Sedangkan pilihan kedua, karena anda bertekad bulat  dan mempunyai visi untuk menjadi pengusaha catering maka anda mencari investor ataupun meminjam uang sebesar 15 juta untuk memulai usaha catering. Uang pinjaman inilah yang dijadikan leverage (pengungkit) di dalam usaha catering.

Untuk membesarkan usaha, diperlukan leverage. Kecerdasan untuk mengotimalkan leverage inilah yang sedikit difahami oleh usaha kecil kita. Kalau kita cermati, kenapa usaha mikro kita terkesan berjalan di tempat. Contohlah Tukang Bakso di kampung, kenapa usahanya tidak berkembang ? padahal mereka sudah jualan bakso puluhan tahun, dan mengetahui secara detail cara membuat bakso dengan baik. Setiap hari mereka masih tetap mendorong gerobak baksonya ke kampung-kampung. Kalaupun akhirnya dia mencari tempat untuk berjualan, itu tidak lebih membuka lapak di PKL. Sedangkan di tempat lain, ada seseorang yang menjual bakso, dia baru memulai usaha ini beberapa tahun, namun sudah mempunyai tempat permanen, bahkan berencana membuka cabang di tempat yang lain.

Pertama, Tukang bakso kampung tadi sudah merasa cukup dengan hasil jualan baksonya. Dia sudah bisa mempunyai rumah dari hasil jual bakso. Anak anaknya pun dapat bersekolah. Dia juga sudah mempunyai motor dan perabotan rumah. Bagi dia, menjadi tukang bakso adalah profesi hidupnya. Dan dia bangga terhadap provesinya tersebut meskipun masih mendorong sendiri gerobak baksonya.  Tukang bakso tadi bermain pada titik aman.  Mindset dia baru sebatas level usaha  mikro yang merasa cukup dan tidak berfikir untuk berkembang. Dia belum mengasah kemampuannya untuk naik kelas dari tukang bakso yang memakai gerobak, menjadi tukang bakso yang membuka lapak sendiri.

Kedua, dalam hal financial kemampuan pengelolaan tukang bakso tadi masih berputar pada dirinya dan keluarga. Dia belum memiliki keberanian untuk menggunakan leverage dalam usahanya, dia berani untuk merekrut orang lain untuk dijadikan sebagai karyawan. Dia masih mengandalkan modal sendiri, merasa semua bisa dikerjakan sendiri, sehingga tidak perlu mempekerjakan orang lain. Menurut pandangannya semakin banyak orang yang bekerja kepada dirinya akan menyebabkan berkurang labanya. Tukang bakso model ini belum melihat makna dari memberikan manfaat kepada orang lain, yang akan melipatgandakan hasil dari  usaha baksonya.

Sementara itu contoh kedua. Seorang yang memulai usaha bakso meskipun baru beberapa tahun, namun sudah mempunyai keberanian untuk mengoptimalkan leverage, mengembangkan usaha dengan menambah modal, menyewa tempat, merekrut pegawai dan melakukan investasi dalam produk dan pemasaran. Pelajaran dari Tukang Bakso ini dari sisi mindset dia mempunyai visi kedepan terhadap usaha baksonya. Bagi dia pilihan menjadi tukang bakso bukan sekedar persoalan hidup dia dan keluarganya, namun sebagai mimpinya untuk mempunyai usaha bakso yang besar, cabangnya ada dimana-mana. Tukang bakso model ini mempunyai kecerdasan financial untuk mengembangkan usaha melebihi dari kemampuannya. Misalkan dia waktu memulai usaha hanya dengan modal 5 juta, namun dia sudah mempunyai visi kedepan, jika usahanya berkembang dan perputarannya bagus, dia tidak akan ragu untuk mengelola modal 50 juta untuk mengembangkan usahannya.

Sewaktu saya masih aktif di LSM, sering saya mendampingi usaha kecil. Ketika para usaha kecil tadi ditanya, masalah apa yang dihadapi untuk mengembangkan usaha, mereka ramai ramai akan menjawab modal. Ketika selain modal ditanya lagi, mereka akan menjawab  tetap  modal. Kalau kita petakan lebih mendalam, modal memang penting dalam suatu usaha, tapi lebih penting sejauh mana upaya anda untuk mendapatkan modal.

Sebenarnya banyak para investor yang siap untuk menanamkan modalnya untuk usaha. Istilahnya daripada uang disimpan di Bank, tidak memberikan manfaat selain hanya kepada Bank. Lebih baik uang tersebut diputar untuk menggerakan roda ekonomi sehingga bersifat produktif. Sehingga tidak alasan persoalan modal menjadi kendala utama di dalam usaha. Namun demikian, pemahaman seperti ini yang sedikit dimiliki oleh usaha mikro kita. Pola pikir mereka terjebak ke dalam cara berfikir yang senantiasa “menyusu” sehingga menganggap bahwa modal menjadi persoalan terbesar kita.

Kalaupun akhirnya para usaha mikro ini diberikan modal, dengan tetap pada pola fikir sama, tanpa melakukan perubahan terhadap usahannya bisa dipastikan modal ini akan habis dan usahanya tetap tidak berkembang. Pendekatan ini justru sering dilakukan oleh pemerintah kita dalam memadang usaha mikro sebagai obyek tanpa menggarap pola fikir (mindset) mereka, sehingga berapapun dana hibah yang dikucurkan hasilnya tidak akan mengubah secara signifikan, justru dana tersebut akan terbuang Cuma-Cuma. Bahkan program-program hibah seperti ini ibaratnya seperti sebuah bancakan bagi praktek korupsi.

Memperlakukan usaha mikro kecil dengan perspektif sebagai obyek yang harus selalu disusui, tak ubahnya malah membuat usaha mikro tadi berat untuk naik kelas. Misalnya dari level mikro menjadi kecil, dari kecil meningkat menjadi menengah. Diperlukan perubahan pada fundamen. Sehingga usaha kecil tersebut memiliki kecerdasan financial dalam mengelola usahanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *